Menepati Janji Membuat Kebijakan Berbasis Data
smart city
Ketika berbicara tentang smart city atau kota cerdas, nyatanya tidak hanya berlaku untuk kota maupun kabupaten. Tetapi juga berlaku untuk tingkat pemerintah di atasnya, seperti provinsi. Sama halnya dengan kota ataupun kabupaten, provinsi juga harus menjadi cerdas.
Menerapkan Satu Data bukan perkara mudah. Pada kenyataannya, butuh waktu bertahun-tahun untuk mengolektifkan semua data entitas menjadi satu kesatuan. Kebiasaan menyimpan file yang semula hanya terotomasi sekarang harus ‘dipaksa’ menjadi terintegrasi.
Kepala Daerah melalui Wali Data yaitu Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) setempat memiliki cara sendiri untuk membangun sistem cerdas demi mewujudkan tujuan kota cerdas, yaitu meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Karena membangun sistem cerdas membutuhkan waktu lama, ada beberapa yang memilih untuk membangun dalam waktu persamaan. Artinya, pemerintah daerah mempersiapkan software, hardware, dan tata kelola secara bersamaan.
Langkah itulah yang diterapkan oleh Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik, dan Persandian (Diskominfo) Provinsi Kalimantan Timur dalam merencanakan integrase Satu Data Kaltim. Kepala Diskominfo Kalimantan Timur, Muhammad Faisal menyadari betul bahwa jika semua hal dipersiapkan satu per satu waktu delapan tahun tidak akan selesai.
Sehingga, ia pun mengambil langkah untuk mempersiapkannya secara bersamaan. Komitmen ini pun dilakukan secara serius. Persiapan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) belanja juga akan disepakati bersama dengan pihak penyedia software yaitu PT Enygma Solusi Negeri. Agenda ini dilakukan di ruang command center Diskominfo Kalimantan Timur, Selasa (17/1/2023).
Persiapan secara bersamaan ini bukan berarti sistem Satu Data akan dibangun secara asal-asalan. Melainkan juga tetap mempertimbangkan kualitas dari para penyedia sarana dan prasarana. PT Enygma Solusi Negeri memiliki Intelligent Operation Platform (IOP) yang terbukti benar-benar menyediakan platform terintegrasi.
Kembali pada kebutuhan konsumen, visualisasi juga dipertimbangkan agar pemimpin daerah dapat dengan mudah membaca data secara real in time nantinya apabila Satu Data Kalimantan Timur ini direalisasikan.
Selama ini, penyediaan data masih menjadi persoalan pelik dan rumit apalagi jika melibatkan lintas entitas. Jangankan di tingkat provinsi, di tingkat kota maupun kabupaten saja, data masih semrawut dan tercecer berai. Masih banyak produsen data yang menganggap sebuah laporan hanyalah formalitas.
Pemikiran sumbu pendek itulah yang membuat pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat masih belum tercapai. Padahal, tujuan produsen data menghasilkan data adalah agar pemimpin daerah dapat mempertimbangkan atau membuat sebuah keputusan kebijakan dengan tepat dan tidak salah sasaran. Artinya, data adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan dari sebuah kota ataupun kabupaten.
Sebagai pemerintahan yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas Kabupaten/Kota), maka provinsi juga berhak membangun sistem Satu Data. Tentunya dengan mengintegrasikan semua entitas di lintas kabupaten maupun kota. Apalagi Satu Data Indonesia juga telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.
Direktur PT Enygma Solusi Negeri Erick Karya mengatakan bahwa Satu Data Kaltim tidak berhenti di hal-hal teknis. Tetapi, lebih jauh lagi adalah kebermanfaatannya. Artinya, bagaimana data yang terkumpul dapat menjadi pemecah suatu masalah.
Di sektor korporat, pembuat kebijakan dapat memutuskan dengan tepat berbasis data, pada faktanya memang terbukti. Pendekatan dengan data nyatanya mampu meningkatkan kinerja dengan mengevaluasi dan menganalisa berdasarkan data.
“Data sangatlah mahal,” ungkapan itu memang benar adanya. Bukan hanya sangat mahal, tapi juga memiliki kekuatan super. Anehnya, tidak semua pemimpin daerah dapat melakukan tindakan seperti yang dilakukan Kalimantan Timur saat ini. Banyak yang menganggap membangun sistem cerdas atau pemerintah berbasis data adalah proyek yang begitu mahal. Padahal hal tersebut adalah investasi jangka panjang yang berkelanjutan.
Sebelumnya, data harus dilaporkan di atas kertas kepada pemerintah dan kemudian dimasukkan secara manual ke dalam database. Proses yang lambat dan melelahkan ini membatasi pengumpulan data dan memaksa pembuat keputusan untuk mendiagnosis masalah berdasarkan gambaran yang tidak lengkap yang diambil dari data yang terkadang berusia bertahun-tahun dan penuh kesalahan. Namun saat ini, pemerintah tidak lagi menghadapi keharusan yang sama untuk mengambil dan memilih informasi apa yang akan dikumpulkan, berkat kemajuan menakjubkan dalam teknologi pengumpulan informasi. Lantas, mengapa masih ada yang menolak atau tidak mempercepat langkahnya menuju sistem Satu Data?
Selama ini, tidak adanya data yang baik, membuat pembuat kebijakan seringkali bergantung pada intuisi, pengalaman masa lalu, dan segalanya yang bersifat subjektif. Tetapi, faktanya data dapat membantu mengatasi bias dan mencapai hasil kebijakan yang lebih baik.
Tentu saja, ini tidak berarti bahwa data dapat memberikan semua jawaban. Bahkan saat kita menutup celah data dengan teknologi baru, akan selalu ada beberapa masalah yang sulit atau bahkan tidak mungkin ditangkap secara kuantitatif. Memang ada beberapa faktor subjektif yang perlu dipertimbangan.
Namun, setidaknya dengan data, pembuat kebijakan dapat menetapkan prioritas. Gagasan bahwa pemerintah harus mendasarkan keputusannya pada data, bukti, dan analisis rasional bukanlah hal baru. Yang baru adalah peluang yang diciptakan oleh teknologi informasi untuk mengkristalkan masalah dan menyoroti solusi yang efektif.
"Meski data bukan menjadi bahan justifikasi juga. Tapi lebih kepada evaluasi, kenapa bisa demikian," kata Erick.
Gerakan menuju pembuatan kebijakan berbasis data tidak dapat terjadi tanpa kepemimpinan yang baik. Di berbagai tingkat pemerintahan, termasuk provinsi harus tetap maju membangun sistem cerdas seperti Satu Data, meskipun sebagian besar orang hanya mengenal smart city yang seolah hanya ditunjukkan untuk ‘kota’. Karena pada dasarnya, kota cerdas tidak akan dicapai jika lembaga-lembaga yang ada tidak saling merangkul satu sama lain.