Mengapa Kota (Harus) Pintar Diperlukan?
Smart city,Berita kunjungan
Smart City telah digemborkan sebagai cita-cita semua kota tanpa terkecuali di berbagai penjuru Nusantara. Konsep ini bukan hanya sekadar membangun atau memasang ribuan CCTV sehingga kota terlihat futuristik dan mewah.
Namun, Smart City didesain untuk mencapai tujuan berupa peningkatan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Bukan hanya itu, kota aman dan nyaman pun patut dipertimbangkan sebagai indikator keberhasilan si Kota Pintar.
Sayangnya, ketika konsep ini diperkenalkan, seiring berjalan waktu banyak definisi yang tersebar. Alih-alih memperkaya referensi, justru menjadikan pimpinan kota semakin bingung dengan apa itu Smart City? Apakah kota dengan ribuan CCTV? Atau kota yang terotomatisasi?
Wiki pun juga menyebutkan bahwa ketika menyaring ribuan definisi itu, belum ada definisi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kota bisa disebut sebagai Kota Pintar. Smart City adalah area peradaban yang menggunakan beberapa pengumpul data seperti Sensor IoT, informasi warga, dan instrumen lainnya dan kemudian menggunakan wawasannya untuk memberikan lingkungan yang aman dan nyaman.
Dari definisi itu, apabila disederhanakan, maka Kota Pintar adalah kota yang telah memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat dengan menciptakan lingkungan aman dan nyaman.
Kata “teknologi” inilah yang sering disalahartikan oleh pimpinan kota. Mereka menganggap untuk menuju kota yang lebih cerdas maka berbagai pengadaan teknologi yang cenderung ceroboh dilakukan. Hal itu mengakibatkan inefisiensi anggaran. Alhasil, Kota Pintar hanyalah proyek mahal.
Di berbagai media sosial pun, seringkali masyarakat mengeluh dengan konsep yang dianggap ‘menghabiskan uang’ ini. Pasalnya, command center yang terbangun megah di beberapa kota malah berakhir terbengkalai dengan ribuan alasan.
Sehingga, solusi yang tadinya diambil untuk meningkatkan pelayanan publik, malah berakhir dengan tidak efektif untuk meningkatkan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Padahal, Smart City tidak melulu untuk terlihat ‘keren’ karena teknologi canggihnya. Namun, lebih pada bagaimana teknologi ini mampu menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat.
Hal itupun juga diungkapkan oleh Muhammad Faisal, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalimantan Timur, mengatakan bahwa ketika berbicara menuju Smart City maka kesiapan unsur pemerintah tidak hanya tentang fasilitas sarana dan prasarana, melainkan juga mindset pemerintah itu sendiri.
“Berbicara Smart City kita harus lebih dulu menyamakan persepsi. Jadi Smart City bukan hanya sekadar serba digital atau semua OPD (Organisasi Perangkat Daerah) bikin aplikasi. Tapi bagaimana pelayanan publik ke masyarakat itu lebih efisien dan efektif,” jelas Faisal.
Pemahaman yang salah soal Smart City akan berujung pada kemubaziran program. Mengapa? Karena kembali pada tujuan teknologi yang harusnya memudahkan, justru membuat masyarakat bingung karena ketidaktahuan fungsi dari teknologi yang diadakan.
Dalam memperkaya referensinya mengenai Smart City, Faisal tak luput sowan ke command center yang berada di Living Lab Enygma di Kota Malang, Rabu (30/11/2022). Alih-alih hanya membayangkan bagaimana pimpinan kota nantinya bekerja untuk menuju kota yang lebih cerdas, Faisal menjajal pengalaman berada langsung di ruang kolaborasi tersebut.
Kekhawatiran mengenai kemubaziran program dengan menjadikan Smart City sebagai kambing hitam tentu diharapkan tak lagi menghantui setelah kunjungannya ke command center milik Enygma tersebut.
Sama halnya dengan Faisal, PT Enygma Solusi Negeri mengatakan bahwa pimpinan kota perlu memahami terlebih dahulu apa itu Smart City. Sesederhana mereka sudah dapat mengubah semua dokumen fisik menjadi sistem perekaman berteknologi canggih.
Artinya, data administrasi publik tidak lagi dicatat secara manual hitam diatas putih, melainkan direkam secara digital. Hal ini dilakukan agar pimpinan kota dapat mencari informasi yang diinginkan dengan lebih cepat, sehingga keputusan yang dibuat pun akan berdasarkan data.
Menurut Enygma, Smart City memiliki 6 pilar utama berdasarkan literatur yang ada, diantaranya smart living, smart mobility, smart economy, smart society/people, smart environment, dan smart governance. Apabila pimpinan kota telah paham mengenai Smart City, maka mereka akan memutuskan dengan tepat bagaimana kota yang cerdas dapat tercipta.
“Tidak ada yang bisa disalahkan, karena makna dari terminologi Smart City sendiri cukup tidak jelas. Anda tidak akan menemukan satu pun penjelasan yang cukup komprehensif tentangnya secara online,” kata Erick Karya, Direktur PT Enygma Solusi Negeri.
PT Enygma Solusi Negeri juga seringkali menekankan “view, measure, and improve” atau “menampilkan, mengukur, dan meningkatkan”. Di Enygma, mereka percaya bahwa IOP akan memberdayakan para pemimpin kota untuk berkolaborasi dengan banyak unsur untuk menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman. Wawasan juga memungkinkan semua anggota organisasi untuk dapat menampilkan, mengukur, dan meningkatkan pelayanan publik melalui ruang kerja kolaboratif serta integrasi instrumen dan infrastruktur.
Membangun kota yang lebih cerdas sama halnya menempatkan indera dan tangan dalam satu waktu untuk difungsikan mengontrol kota yang luasnya tentu lebih dari jangkauan tangan kita sendiri. Namun, dengan adanya ruang kolaborasi dan platform yang tepat, maka pimpinan kota dapat berinteraksi dan memutuskan respon yang harus diambil ketika menyelesaikan masalah tertentu.
Sebaliknya, apabila masih ada pimpinan kota yang salah kaprah mengenai Smart City, maka implementasinya akan memakan biaya mahal karena tidak melibatkan bagaimana mengintegrasikan semua pilar dari Smart City. Itulah mengapa, hardware, software, dan brainware harus berkesinambungan satu dengan lainnya.